Terselubung Awan





Aktifitas menjemukan telah menjadi sebuah keseharian bagi semua orang dalam ruang lingkup sebuah bangunan bernama Sekolah. Untuk seorang siswa yang mencari pengetahuan, atau itulah perkataannya. Setiap hari menuntut ilmu dari guru terkasih yang senantiasa memberi segala hal, termasuk hati –termakan akan kekesalan mengajarkan sesuatu yang sama untuk ribuan kalinya dalam sebuah masa jabatan– bagi murid-murid tercintanya.

Itulah masa SMA.

Pada awalnya semua orang merasakan sebuah kenatusiasan tersendiri akan suatu status yang telah melekat dengan nama “Siswa SMA.” 

Keren, baru, bangga, atau bahkan beban adalah salah satu perasaan yang hinggap setelah kita mendapati bahwa kita telah dewasa, atau setidaknya menjadi remaja yang sedang mencari jati diri, atau sekali lagi itulah perkataannya. Dan intinya, Awal jejang SMA adalah sesuatu yang baru dengan ekspektasi berbeda-beda bagi kita semua.

Namun, itu hanya pada awalnya. Lalu, bagaimana dengan selebihnya?



Pagi sudah bukan sebuah penghalang bagiku untuk duduk terdiam di atas kasur. Faktanya, pagi adalah waktu di mana aku mencoba melawan magnet terbesar dalam beraktifitas, dan melawannya adalah suatu hak yang nyaris mustahil tanpa kesungguhan hati dan teriakan ibuku, tentunya.

“Nak, bangun! Fina lagi nunggu di depan, tuh!”

Itu teriakan ibuku, dengan lantangnya dia berteriak dari lantai bawah dengan membawa sebuah nama perempuan dalam ucapannya. Walaupun aku baru terbangun dari tidurku, itu tidak mempengaruhiku dalam mengenali nama itu; nama yang sudah tidak asing di telingaku.

Fina? Ini baru jam enam, apa kita mau nyapu jalan dulu di sekolah?!

“Iya, bu!” Aku menjawab dengan tinggi nada yang hampir sama dengannya.

“Buruan, kasihan Fina sudah rapi, kamu baru mau mandi! Dasar anak laki~”

Dalam sahutannya kali ini, Ibuku memberi ucapan yang bisa disebut gumaman karena perbedaan tinggi nadanya, yang cukup keras untuk aku dengar dari tempat yang berbeda. Apa itu masih bisa disebut gumaman?

Dalam pemikiran yang singkat, aku menyerah untuk memikirkannya dan mencoba melontarkan kembali perkataan ibuku dengan sebuah “gumaman” lainnya.

“Iya, maaf kalau seorang Giri ini Laki!”

“Eh! Ngomong apa kamu?!”

“Enggak, ngelantur, bu!”

“Ya sudah, cepat sana!“

Sebuah alasan dan perintah mengakhiri saling sahut di pagi hariku kali ini. Sebuah morning show yang tidak biasa dan berbeda dari yang lainnya. Ini membuatku bertanya-tanya apa orang lain mengalami hal seperti ini? Apapun jawabannya, aku masih berpikir itu adalah hal yang tidak biasa.

Aku beranjak dari tempat tidurku –kasur bermagnet alami itu, dan pergi menuju kamar mandi untuk... aku yakin semua orang tahu.

Selesai dengan segala sesuatu sebelum bergegas keluar, aku mendapati Fina –Temanku dari SD yang sedikit aneh dan menyebalkan sedang berdiri membelakangi rumahku dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dengan melihat ke atas langit yang dikelilingi oleh awan-awan tipis. Aku mencoba berjalan di belakangnya dengan sangat santai dan tenang hingga aku berhenti tepat di depan punggungnya.

“Ada keperluan apa, mbak? Pagi-pagi berangkat kayak ngejar setoran aja.”

Fina yang sebelumnya terpaku melihat ke atas seketika bergerak dengan refleks yang tak terduga menanggapi candaanku. Aku pikir dia akan meloncat dengan hebohnya dan terjatuh dengan dramatis, namun dia melakukan hal di luar ekspektasiku dan hanya bergetar diam di tempat dan membatu untuk beberapa saat.

“Giri!”

Dia berbalik setelah interval untuk waktu diamnya telah terlewati, dan berbalik lalu berteriak seraya meluruskan tangannya. Terlihat dia memasang raut wajah cemberut tidak berlebihan setelah mengatakan namaku dengan nada yang sedikit ditekan.

“Apa?” Aku menjawab sahutannya dengan sebuah pertanyaan.

“Enggak ada.” Dia tiba-tiba terdiam, lalu dengan pose bijak menutup mulutnya dengan tangan kanan berada di mulutnya seperti filsuf ulung yang sedang berpikir akan sesuatu.

Apa ini reaksi yang benar? Aku rasa ada yang aneh di sini. Aku menyangka dia akan mengatakan “Kamu ngapain, sih?!” atau “Diem napa?!” atau hal lainnya –ini berbeda.

“Ayo, Cepat!” Fina mengatakan perkataan itu ketika aku masih menalikan sepatuku.

“Iya, iya. Memang ada apa? Pagi banget berangkat sekolahnya.”

“Kita punya piket untuk ekskul sastra! Kamu gak ingat? Ayo cepat! Buruan!”

“Kau datang ke sini pagi-pagi bangunin aku cuma buat itu?!”

“Itukan tanggung jawab kita, lagipula apa salahnya? Toh gak ada ruginya.”

“Ada, ruginya aku sudah melihat kau di jam enam pagi ini.”

“Harusnya kamu bersyukur, daripada pagi-pagi ketemu guru killer. PR belum kan? Nanti aku pinjemin, deh, bukuku.”

Dengan keterangan yang memberikan alasan logis untukku bangun di pagi hari ini, aku menjawab dengan nada pelan dan mengalihkan pandanganku ke arah lain.

“Ya sudah, sih.” Itu lumayan setimpal dengan gangguanmu pagi ini~

“Giliran PR langsung diem~”

“...Karena itu Profit.”

Fina menyindirku dengan nada yang memanjangkan suku kata terakhir kalimatnya. Aku yang merasa sedikit terenyuh tepat di hati serasa tertusuk garpu lalu berdiri dari duduk karena mengikat tali sepatuku, dan berlari tanpa tergesa-gesa.

“Ayo, Fina! Katanya mau berangkat pagi!”

“Hei, tungguin!”

Dia mulai mengejarku dengan langkah kaki yang lebar bagi perempuan, tidak layaknya namun tidak melebihi laki-laki untuk dikatakan tomboy ataupun tidak tahu malu. Dasar setengah-setengah~

Kami pun berangkat menuju sekolah dengan berjalan kaki, tidak butuh waktu yang lama untuk pergi ke sekolah dari tempat di mana rumahku berada, apalagi bila kita berangkat jam enam seperti ini. Mungkin hanya butuh 15 Menit dan kita sudah bisa sampai di depan gerbang sekolah. Di perjalanan menuju Sekolah itu aku hanya berjalan dengan santai, sambil tidak berpikir apa-apa kecuali PR-ku. Tapi Ditemani Fina di sebelahku, aku rasa aku tidak perlu terlalu khawatir.

“Gir?”

“Gir? Gir Motor? Gir Mobil?”

“Maksud aku kamu!”

“Makannya yang jelas, seenaknya ngasih nama panggilan kayak gitu.”

“Dulu perasaan kamu gak keberatan.”

Dia terlihat menggigit dinding mulut bawahnya dengan lembut, sedikit mengerutkan dahi dan membuat raut wajahnya terlihat cemberut.

“Terus kamu mau aku panggil apa?”

“...Dude Herlino.”

“Ngimpi!”

“Ya... Kalau beneran aku enggak akan sekolah, Fin.”

“Iyalah.”

“Enggak juga, sih.”

“Lho? Kok jadi kontradiksi?”

“Dude Herlino juga pernah SMA ‘kan? Tamat malahan. Berarti dia sekolah juga.”

“... Iya, sih.”

“Kau itu jadi seorang manusia harus konsisten.”

“Iya, iya~”

Sepanjang perjalanan, aku hanya melangkahkan kaki yang diiringi oleh ucapanku dan juga Fina. Sesekali, aku melihat dengan kepala yang lurus dan mata yang bergullir ke arahnya.

Kami terus berbicara dan mengobrol akan segala hal yang menyangkut dan menempel di otak kami. Hal seperti ini bukan lagi hal aneh, aku sudah bersamanya sejak kami SD dan kami selalu berangkat ke sekolah bersama-sama dengan dia yang mendatangiku, selalu.

Walaupun begitu, akhir-akhir ini –mungkin tepatnya sejak aku memasuki SMA, aku merasakan hal yang aneh ketika bersamanya. Perasaan yang sangat aneh hingga aku tidak bisa menanyakannya kepada siapapun, bahkan kepada Fina sekalipun. Aku selalu bertanya-tanya dalam pikiranku akan hal ini, namun aku masih belum menemukan jawabannya.

Dan pada akhirnya, aku tidak bertanya pada siapapun, dan aku tetap menahan rasa penasaranku dalam kepalaku sendiri.

“Gir! ... ri! Ayo, buruan! Malah ngelamun~”

Dengan teriakan dari Fina, aku sedikit tersentak dan menyadari langkah kakiku yang memelan dan telah tertinggal beberapa meter dari Fina yang berada di depan gerbang sekolah.

Dan masa menuntut ilmu pada hari itu dimulai ketika aku memasuki gerbang dan bel berbunyi memanggil kami, para penuntut ilmu.


Kegiatan belajar-mengajar dimulai.

Semua orang sudah berada di tempat duduknya masing-masing, terkecuali untuk beberapa orang yang tidak bisa hadir karena satu dari tiga hal yang dapat dicantumkan dalam buku absensi. Selagi guru mengabsen dengan buku tersebut, para murid hanya terduduk rapi dan menunggu nama mereka terpanggil oleh guru yang sedang mengajar, seperti seekor bangau yang menanti ikannya.

Satu demi satu para murid yang ada mengangkat tangan dan menyatakan hadir di atas kursi mereka, hingga giliranku datang dan aku pun melakukan hal yang sama, seperti murid biasa yang lainnya.

Setelah itu, guru pun memulai pelajarannya, yang telah mereka siapkan jauh hari sebelum mereka dapat berhadapan dengan kami –murid-muridnya. Aku pikir, bererapa dari mereka melakukan hal itu, dan beberepa dari mereka yang lain mungkin tidak melakukannya, setidaknya untuk saat ini karena aku yakin, mereka sudah hapal apa yang akan mereka ajarkan diluar kepala dengan pengalaman yang mereka miliki.

Hingga pelajaran berakhir dan pelajaran pun berganti.
Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya hingga waktu kegiatan belajar mengajar berakhir tanpa ada jeda kecuali istirahat di selang kegiatannya.

Ini terjadi setiap 6 hari dalam satu minggu, rata-rata 7 jam dalam satu hari, dikurangi beberapa pengecualian “merah” dalam kalender dan acara sekolah; hampir ¾ kehidupan dari seorang siswa adalah belajar.
Melelahkan; menjemukan.

Itu adalah kata yang sering aku keluarkan. Bukan dari mulutku, namun dari pikiranku.

Aku pikir, siswa harus diberi sebuah penghargaan “Bertahan dalam kebosanan” karena dedikasnya yang menuntut mereka untuk terus belajar banyak hal dari banyak orang yang mengajari satu hal tiap-tiapnya. Siswa adalah manusia yang kuat.

Tapi, yah itu hanya pemikiran sempitku. Aku mungkin mengubah pemikiranku ketika aku menjadi dewasa, atau ketika aku menjadi guru dari apa yang sedang aku jalani sekarang dalam suatu kehidupan.

Seperti biasanya, aku memperhatikan guru yang sedang mengajar dipelajaran terakhir ini, dengan sesekali mengangguk-anggukan kepala karena sesuatu yang lain dari aku mengiyakan apa yang bisa aku pahami dari guruku.

Dan saat itu, seseorang menusuk punggungku.

“Gir! Giri!”

Sebuah sahutan dari seorang perempuan yang paling aku kenal di sekolah ini terdengar dari telingaku setelah menahan sakit dari apa yang dia lakukan sebelumnya. Aku mencoba berbalik dan mendapati Fina sedang menelungkupkan badannya di atas meja dan mendekatkan kepalanya padaku.
“... Apa??” Dengan nada ketus aku menanggapinya.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia memberikan sebuah kertas yang telah dilipat kepadaku.

Aku mencoba membukanya. Tentu saja, aku mencoba membukannya tanpa terlihat oleh guru atau aku akan tercurigai sebagai siswa yang mempunyai etika yang buruk.

==================================================================
Hei~ Gir! Aku udah buat cerpen untuk tugas sastra nih!
Mau lihat? Ceritanya tentang seseorang yang menemukan
kacamata yang bisa melihat hantu! Keren ‘kan? Siapa dulu yang buat!
Eh, cerpen kamu udah selesai? Coba lihat, dong! Gurunya ngebosenin!! >o<
==================================================================

Pada saat aku melihatnya, aku tidak memperlihatkan perbedaan raut wajah sama sekali. Melihatnya tidak membuatku bergeming untuk melakukan sesuatu yang konyol atau hal yang tidak masuk akal lainnya.

Tapi, aku hanya mengeluarkan keringat dingin, dan mencoba menulis sebuah balasan kepadanya di kertas yang sama, dengan tangan sedikit bergetar karena membayangkan apa yang akan aku alamu nanti.

==================================================================
Kau enggak bilang ada tugas cerpen hari ini ...
==================================================================
Dan pelajaran terakhir pun berakhir seraya bel yang berdering terdengar di seluruh penjuru sekolah.


Apa yang bisa membuatmu bisa bertahan di sekolah?

Jika seseorang bertanya kepadaku akan hal itu, aku akan menjawab ...

Kantin... Perpustakaan...

Dan Ekstrakulikuler...

Walaupun begitu, tidak semua orang suka dengan alasan-alasan yang aku katakan, dan mereka masih bisa bertahan di savana ilmu pengetahuan ini. Manusia yang baik.

Mungkin, dulu aku adalah salah satunya –mereka yang tidak mempunyai kegiatan setelah akhir sekolah karena tidak mempunyai motivasi untuk bertahan hingga ¾ hari beranjak. Aku tidak tertarik dengan kegiatan apapun dan tidak tertarik dengan hal apapun. Biasanya, aku menghabiskan waktu di rumah untuk bermalas-malasan di depat televisi atau tidur untuk menggantikan waktu malamku.

Tapi, setelah aku tahu Fina adalah salah satu anggota dari Ekstrakulikuler, aku tidak menghiraukannya dan dia malah mengajakku dengan paksa dengan alasan aku tidak punya waktu untuk dibuang-buang. Orang tuaku tahu bahwa aku tidak mengikuti ekstrakulikuler apapun di sekolah pada akhirnya mendukung paksaanya agar aku masuk dalam kegiatan bersama Fina setelah pulang sekolah. Mencoba menghindari anaknya bertransformasi menjadi seorang pengangguran pembawa beban~

Dan dari sebab itulah kenapa aku dapat berada di sini.

“Giri, mana cerpen kamu?”

“Eh..”

Aku melihat ke segala arah tanpa karuan dengan tempo yang lambat, mencari alasan yang bagus dan dapat dipercaya dengan hanya beberapa kata. Namun berapa lama pun aku berpikir, tidak ada kata-kata persuasif yang bagus untuk dijadikan alasan yang kuat.

Pada akhirnya aku hanya bisa jujur. Itu hal baik, ‘kan?

“...Belum, Kang. Saya lupa mengerjakan tugasnya.”

“Haduh, Giri... Akang sudah bilang kalau kita akan mengumpulkan cerpen buatan masing-masing hari ini.”

“Tapi, saya lupa dan gak ada yang mengingatkan.”

“Apa kamu mau terus dimanja? Giri.”

Aku menggelengkan kepalaku seraya menggaruk belakang kepala yang tidak terasa gatal sama sekali. Dalam kondisi ini, aku tidak bisa bicara sekali karena rasa bersalah yang lebih tinggi dari egoku untuk membela diri dengan berbagai alasan.

“Dengar, Giri. Akang tahu, kalau kamu pelupa, tapi sebaiknya kamu memperbaiki diri dan mencoba untuk tidak melalaikan tanggung jawab kamu. Kamu sudah masuk dan berada di dalam ekstrakulikuler ini. Ikuti atau keluar.”

Kakak kelasku mengatakan perkataan itu dengan tegas.

“Kamu mengerti?”

“...Iya, kang.”

“Baguslah, Akang harap kamu bisa lebih ada kemajuan dari kamu. Kalau kamu mau tahu pendapat Akang, kamu itu adalah anggota yang paling tinggi potensinya dibanding yang lain. Akang sudah lihat cerpenmu yang dulu dan sekarang berharap banyak dari kamu.”

“...Iya, Kang.”

Dan dengan jawaban pendek itu, dia mulai beranjak dari posisinya ketika dia mulai mengatakan perkataan-perkataan itu. Aku dapat melihatnya kembali mengumpulkan salinan cerpen yang anggota lain bawa dengan wajah seperti tidak pernah ada yang terjadi sebelumnya, ketika kakak kelasku itu datang dan menghampiriku.

Dengan menjauhnya sosok yang dulu aku hormat dan kagumi dari pandanganku, aku mulai berpikir.

...Memperbaiki diri?

...Berharap banyak dariku?

Jangan melucu.

Apa orang lain tahu setidaknya sedikit bagaimana aku yang seperti ini mencoba berubah dan memperbaiki diri, demi orang lain, demi mendapat sebuah tempat yang nyaman dalam pikiran orang lain? Tidak.

Apa orang lain tahu bagaimana aku mencoba berusaha dengan aku yang sekarang, menggapai ekspektasi-ekspektasi –harapan dari mereka yang hanya bisa berkata namun tidak bisa merasakan?

Tidak.

Tidak ada yang tahu, mereka hanya tahu bagaimana hasil akhir dari usahaku. Mereka hanya melihat bagaimana hasil tanpa mempunyai keinginan untuk acuh pada kerja keras mereka menghidupi ekspektasi dari mata mereka dan pikiran orang-orang yang merasa diri pribadi orang-orang adalah sama.

Mereka salah.

Manusia tidak dilahirkan dengan kemampuan yang sama, mereka mempunyai bakat masing-masing, dan tidak mempunyai bakat adalah salah satu dari bakat yang ada, yang aku miliki saat ini bila mereka menginginkan bakat dalam diriku.

Semua ini salah.

Aku masih berdiri pada saat itu, ketika mereka semua yang mempunyai tugas yang sama denganku telah duduk dan merasa lega dengan apa yang akan mereka kerjakan lagi untuk seterusnya. Perasaanku mengatakan kepadaku untuk murka; Bergerak tanpa pengendalian diri dan membuat kekacauan yang dapat meredakan amarah yang saat ini ada dalam diriku. Namun moralku yang masih mementingkan pandangan orang lain dan ketahudirian mencoba menahannya dengan sekuat tenaga.

Karena inilah aku tidak suka SMA, karena inilah aku tidak suka ekspektasi.

Aku hanya bisa bergetar, dengan rasa ingin meletuskan kata sumpah serapah yang tinggi dan sulit untuk ditahan.

Hingga dia –Fina, menegurku dari belakang dengan senyumannya yang tulus tanpa sedikitpun memperlihatkan sebuah kemunafikan; hanya sebuah senyuman tulus dengan rasa simpati yang tinggi darinya.

Hingga aku tenang, dan duduk dengan rasa yang bimbang dalam hati akan bagaimana aku bisa mempertahankan tingkah lakuku sampai kegiatan sastra yang aku ikuti ini berakhir.


Langit dan warnanya telah mencerminkan waktu yang telah beranjak sore, bel tanda berakhirnya jadwal kegiatan belajar mengajar telah lama berlalu sebelum aku duduk dan berpikir di atas kursi taman dengan banyak orang yang mengelilinginya. Aku seorang pendiam, namun keramaian bukan hal yang terlalu menakutkan untukku, dan bukan suatu hal yang perlu aku takuti.

Di sana, aku hanya terdiam. Bingung dengan apa yang bisa aku lakukan dengan segala waktu yang telah aku dapatkan setelah sebuah rutinitas yang membosankan dan berulang-ulang telah berakhir. Memikirkan bagaimana kehidupan seperti tidak adil dan tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan, juga masa depan yang tidak terbayang karena segala yang aku lakukan seperti tidak memberikan gambaran bagaimana nasibku kedepannya.
Juga, bagaimana aku memikirkan, bagaimana waktu akan terus hilang dalam duniaku yang statis.

Aku benar-benar lelah.

“5L? Minum, nih, Giri.”

Dalam keheningan yang aku rasakan, tiba-tiba Fina datang membawa segelas air dingin dengan warna yang mencolok, lalu menempelkannya di jidatku yang mungkin terlihat panas dari pandangannya.

“Enggak, silahkan saja.”

“Gak mau?”

Aku menggelengkan kepala.

Dengan isyarat yang aku berikan kepadanya, dia akhirnya duduk dengan tanda menyerah dan mencoba membuat sebuah percakapan denganku. Lagipula, minumannya terlihat tidak enak.

“Hei, Gir...”

“Ah...”

“Sebenarnya, aku juga agak kurang suka sama kakak kelas itu akhir-akhir ini.”

“Jadi sebelumnya kau suka dengan kakak kelas kita itu? Hoh....”

“Iih! Siapa yang bilang suka?! Aku cuma bilang kurang suka! Lagipula bukan suka yang itu!!”

“Memangnya aku bilang suka yang mana?”

“Aah! Udah, gak usah dibahas!”

Fina terlihat kesal mendengar perkataanku.

“Kau yang mulai, kau yang kau yang mengakhiri. Maunya apa...”

Aku bersikap dingin kepadanya. Rasanya aku tidak ingin melakukan hal seperti ini, ini terasa sedikit kejam dan berlebihan untuknya karena aku merasa bahwa dia akan menjadi perasa ketika orang lain dalam keadaan emosional –sedih.

Dan perasaanku ternyata benar.

Dia menempatkan kepalanya dengan lemah di kedua tangan yang sudah dipasang untuk menjaga keseimbangan. Memperlihatkan wajah sedih, atau mungkin kecewa.

Dia terlihat ingin menangis. Dan sebelum aku menyadarinya, dia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang membuatku semakin panik di sana dalam keramaian.

“E-eh.. Fina! Kamu kenapa?? Aku enggak maksud begitu! Aku cuma...”

“Dengerin.”

“Heh?”

“Dengerin!”

Sekarang, aku melihat air matanya berlinang keluar dari kelopak matanya yang terlihat setengah terbuka. Dia mengusap air matanya dengan tangan sambil terisak-isak dan menolehkan pandanganya ke arahku.

Aku langsung mencoba mengambil sikap tegap dengan telinga yang siap untuk mendengar.

“Jangan gitu lagi sama aku. Aku tahu kamu sedih, tapi seenggaknya kamu gak usah cuek gitu.”

“Iya.. tapi...”

Sebelum aku menyelesaikan perkataanku, dia kembali menutup wajahnya dengan cepat dan apa yang terjadi sebelumnya kembali terjadi, dan membuatku semakin panik.

“A-ah! Ya! Iya iya iya!”

Dia kembali membukakan tangannya dan memperlihatkan wajah merahnya kepadaku.

“Gir...”

“...Ya?”

“Kamu kenapa?”

“Enggak kenapa-napa.”

Aku menjawabnya dengan singkat.

“Jangan kayak cewek gitu deh! Malu aku..”

“I-iya! Berisik!”

Suasana yang sebelumnya sendu kini mulai sedikit terasa hangat dengan percakapan kecil yang aku alami dengan Fina. Kulihat siswa-siswi mulai jarang terlihat melewati gerbang, tanda bahwa kami sudah lama saling mengisi dalam waktu berdua sepulang sekolah dalam keseharian.

Saat itu, aku akan mulai berbicara kepadanya mengenai masalahnya setelah sunyi panjang yang terjadi tanpa satu kata terucap dari mulut kami. Hingga, dia kembali mengatakan sesuatu.

“Begini saja, deh.”

Dia mengatakan itu dengan mengusap- menggosok-gosok matanya dengan kasar seperti laki-laki, namun tidak menghilangkan gaya feminimnya yang membuatku semakin sadar bahwa dia adalah seorang perempuan, yang selama ini selalu aku anggap sebagai seorang-

“Gir, aku gak tahu kamu kenapa. Tapi bila karena kejadian tadi dengan kakak kelas kita itu, jangan diambil hati, yang aku tahu kalian semua gak salah dengan apa yang kalian kukuhkan. Kakak kelas kita itu sebenarnya bermaksud baik, dia ingin kamu jadi orang yang baik dan bisa diandalkan.”

“Tapi kamu juga gak salah!”

Katanya setelah jeda dia mengambil nafas antara perkataanya.

“Aku tahu kamu marah karena kamu gak bisa memenuhi apa yang dia harapkan dari kamu, aku tahu sebenarnya kamu bukan menyalahkan orang lain karena keadaan kamu sekarang. Tapi, kamu sebenarnya lebih sering menyalahkan diri kamu sendiri akan apa yang terjadi. Begitupula dengan kejadian tadi. Tapi, semangat, Giri!!”

Aku hanya terdiam mendengar perkataanya, menutup mataku dengan rapat agar aku dapat meresapi perkataanya dengan seksama.

Hingga dia berteriak...

“GIRI!!”

Kaget, itulah yang aku rasakan. Dengan bercampur kesal karena dia telah menggangguku dengan pikiranku yang aku peras untuk perkataanya.

“Kamu jangan nangis!!”

“Aku gak nangis!!”

“Terus kenapa?”

“Aku enggak ngedengerin. Kamu ngomong apa?”

“Iiih!! GIRI!!”

Setelah menggodanya dengan kejam. Aku meloncat dan berdiri dari tempat duduk dan berlari santai menuju gerbang, dengan beban yang terasa hilang. Kulihat Fina pun mulai beranjak dan mengejarku yang telah melangkahkan kaki dengan tenang.

“Ayo pulang.”

Dengan senyuman, aku mengatakannya kepada Fina. Senyuman yang terasa lepas, tanpa paksaan dan keluar tanpa aku sadari setelah melihatnya, dan mengingat apa yang dia lakukan.

Fina hanya terdiam, lalu kembali melangkah dan menyamakan langkah kakinya denganku, tersenyum dengan lega dan menjawab ajakanku.

“Jangan lupa, tadi hutang jajan er pe 2.000.”

“Ingat saja... Iya deh~”

Dan kami pun berjalan menyusuri jalan, dengan matahari yang terlihat akan tenggelam diujungnya, seperti rumah yang menanti kami untuk hadir di dalamnya dan memberi salam hangat pada orang tua kami setelah menuntut ilmu yang berguna.

Bersamanya, Fina –Sahabatku.

Sahabat, adalah salah satu penyemangat dalam sebuah kejemuan, dalam sebuah kekesalan. Dalam segala hal. Mungkin tanpanya, aku sudah menjadi seorang yang lain dari apa adanya aku sekarang. Aku benar-benar bersyukur.

Mungkin, suatu saat nanti aku bisa selalu bersamanya dalam arti lain, tapi...

Aku masih tetap di sini, bersama sahabatku. Terkelilingi oleh rasa kedekatan, terselubung awan dengan mentari yang terlihat mengintip melihat kehangatan...

-Fin
© Rizki Aulia Rachman

Leave a Reply

Silahkan tuangkan segala kritik, saran, maupun komentar yang ada dalam pikiran anda dengan bahasa yang baik dan benar. Terimakasih