Random Illustration | Copyright by Owner. |
Malam begitu dingin pada saat
itu, namun seluruh kota tidak terlalu merasakannya karena hangatnya racun
ringan dari kendaraan yang lalu lalang di jalan raya kota yang tak pernah tidur
ini, tidak ada yang namanya ketenangan dan damai, hanya kesibukan dan rutinitas
yang menjemukan.
Saat itu bartender sedang sibuk
mencampur minuman yang akan disediakannya untukku, aku menatapnya dari meja di
mana aku duduk dengan mata yang sayu dan penuh dengan kekosongan yang menutupi
segala pikiranku, namun bartender itu hanya memalingkan pandangan dari sorotan
mataku seolah-olah dia tidak melihat apa-apa di sana, walaupun aku pikir dia
ataupun semua orang dapat mengetahui apa yang aku pikirkan dengan hanya melihat
mataku ini.
Aku mabuk berat pada malam itu,
semua bau minuman keras yang menyengat membuatku ingin membuka mata, namun apa
yang aku minum sebelumnya mebuatku ingin melakukan kebalikannya. Mulutku terasa
kering walaupun tetesan vodka masih mengalir dari bibirku, dan pendengaranku mulai
terasa pekak, namun detak jantungku terasa lebih jelas terdengar dengan detakannya
yang sangat kencang.
Walaupun begitu, akal sehatku
masih berjalan, aku masih dapat mengendalikan diriku setelah meneguk seluruh
minuman surga dunia itu, untuk memperkuat diriku sendiri akan segala yang
terjadi karena minuman itu, aku mencoba berjalan menuju toilet untuk membasuh
muka dengan air jernih yang belum tentu bisa dikatakan bersih.
Tetesan air mengalir dari pipiku,
seperti tangisan yang keluar dari mataku ketika aku membasuhnya dan menampakkan
wajahku di depan cermin. Terlihat seorang pria gagah dengan wajah kusam berdiri
di sana, memakai jas kantor yang tidak akan dia kenakan lagi karena ketidak
percayaan perusahaan akan kerja kerasnya, dan seluruh usaha yang dia berikan
kepada sebuah nama besar yang tak ingin ia dengar lagi di telinganya.
Aku sudah tidak asing lagi dengan
sosok yang ada di cermin itu, dia bukanlah temanku, bukan saudaraku, dan bukan
keluargaku. Aku mengenalnya karena dia adalah aku, seluruhnya “dia” adalah
“aku,” termasuk segala apa yang aku katakan pada sebuah cermin yang tak menjawab apa-apa dari seluruh pertanyaan
yang aku tanyakan dalam hati kala malam dingin itu.
“Kenapa hidupku seperti ini?”
“Kenapa tidak ada yang dapat
mengerti diriku?”
“Kenapa segala hal buruk selalu
menimpaku?”
“Kenapa?”
Pikiranku hampir meledak karena
pertanyaan yang tidak akan pernah di dengar siapapun dan tidak akan pernah
terjawab itu. Mungkin karena aku sedang mabuk, akal sehatku terasa melayang di
kepalaku, dan membiarkan batasan kegilaan meluncur keluar dari pikiranku hingga
aku menanyakan pertanyaan konyol itu pada diriku sendiri; Mungkin aku sudah
tidak waras.
Namun, tubuhku masih berpihak
padaku, dan otakku mencegahnya untuk tidak melakukan hal gila lain yang bisa
membuatku jatuh dalam masalah, pikiranku yang kacau sudah cukup untuk membuatku
lebih kehilangan akal sehat. Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku kembali
dengan membasuh wajahku kembali secara berulang-ulang.
Aku masih dapat melihat diriku
yang payah dalam cermin itu, melihat diriku sendiri di depan cermin itu
membuatku kembali membenci diriku sendiri dengan mengeluh akan kehidupan
seperti apa yang aku lakukan sebelumnya, namun segera aku akhiri hal bodoh itu dengan
sebuah basuhan di wajahku untuk yang terakhir kalinya, dan mencoba pergi dari
perangkap pikiran itu.
Keluar dari toilet dengan kondisi
yang lebih baik dari sebelumnya, aku berjalan dengan sempoyongan kecil yang
masih tertinggal menuju bartender untuk membayar apa yang membuatku mabuk, aku
merogoh dan mencari-cari uang dalam saku dalam jasku, melanjutkannya pada
seluruh saku yang ada di pakaian yang aku kenakan pada saat itu untuk menemukan
sebuah dompet berisi uang yang aku yakin cukup untuk membayar seluruh minuman
keras yang aku beli dari bar itu, aku yakin akan hal itu. Tapi, ternyata ada
sesuatu yang hilang dari saku ku, uang sekaligus dompet yang aku letakan di salah
satu sakuku hilang tak berbekas.
Aku berusaha untuk tenang,
bartender yang berada di sebelah lain dari meja bar sudah mulai menghampiriku
dengan wajah dinginnya, langkah kakinya terasa sangat keras di telinga dan aku mulai
mencari dompetku lagi di saku yang lain, sambil memikirkan alasan yang pas agar
aku dapat lolos dari bartender itu bila memang aku harus berhadapan dengan
situasi terburuk yang bisa saja terjadi.
Bartender itu menungguku dengan
wajah yang mengeluarkan wajah tenang namun penuh pemikiran. Dia menepukan kedua
tangannya dengan santai setelah mengetahui bahwa aku tidak memiliki uang untuk
membayar, dari dalam ruangan staff muncul dua orang berbadan kekar dan wajah
garang menghampiriku.
Aku sudah tahu apa akhir dari
semua ini, aku tidak melawan ketika mereka mengapit kedua tanganku dengan kasar
dan mulai menyeretku ke ruangan di mana mereka datang. Itu karena aku sudah
yakin, atau tepatnya pasrah bahwa “melawan adalah sia-sia.”
Tubuhku dihempaskan ke arah
tembok kusam yang ada di ruangan dan aku hanya bisa terdiam di sana, lalu salah
satu dari dua orang kekar itu menarik bahuku dengan sangat kasar, dan tiba-tiba
mataku memperlihatkan kegelapan sesaat dan rasa sakit yang mengilukan. Dia
memukulku tanpa ragu dan tanpa belas kasihan, aku tahu bahwa pekerjaan yang
mereka lakukan seperti saat ini hanya butuh otot besar dan tak perlu pemikiran
yang membuat keraguan ataupun belas kasihan.
Dia mulai menendangku dengan
lutut kerasnya, tepat mengarah ke perut bagian tengah yang membuatku ingin
memuntahkan seluruh minuman yang aku teguk di bar sebelumnya. Jadi, apa mereka
ingin minuman mereka kembali? Tentu saja tidak. Aku rasa mereka lebih ingin aku
membayarnya daripada kembali mengeluarkannya.
Aku mulai terbaring setelah 2
hantaman keras di tubuhku itu, dari mulutku mulai mengalir beberapa tetes darah
karena hal itu, aku sangat tidak berdaya, seperti ikan yang baru saja dipancing
lalu dipukuli agar diam dan dapat mereka jadikan santapan. Dari apa yang aku
lihat, kedua orang kekar tersebut sedang mengobrol di depanku dengan santainya.
Apa mereka sudah tidak memiliki hati nurani? Mungkin pekerjaan seperti yang mereka
lakukan sudah manghapuskan salah satu sifat manusia tersebut dari diri mereka
sendiri.
Aku mencoba bangkit dengan tenaga
yang masih ada di tangan dan kakiku, mencoba berdiri walaupun aku tahu itu akan
sia-sia karena dua orang kekar tadi pasti akan melakukan hal yang sama seperti
sebelumnya kepadaku, kembali tanpa belas kasih. Namun ternyata pemikiranku salah, namun ini tidak jauh lebih buruk dari
mereka menghajarku tanpa belas kasih; mereka menyeretku dengan perlahan menuju
pintu yang lain dari pintu yang aku gunakan untuk masuk keruangan ini, yang
menghadap ke sebuah gang gelap yang hanya di terangi lampu pijar dari bangunan
bar tersebut. Di depan pintu aku dilempar dengan sekuat tenaga ke arah tempat
sampah yang sebagian masih terisi, denganku di sana membuatnya penuh dan siap
untuk di angkut dan dibuang di penumpukan sampah. Yah, aku yakin aku dan mereka
menganggap diriku tidak lebih dari sekedar sampah.
Tapi, aku tidak ingin berakhir di
tempat sampah, itu mungkin tempat yang lumayan baik untukku tapi aku yang masih
mempunyai perasaan bahwa aku adalah manusia menolak akan hal tersebut,
mungkin... laut adalah tempat yang lebih baik untukku berada daripada tempat
sampah. Lagipula, banyak orang yang membuang sampahnya ke laut, bukan?
Dengan baju yang kotor karena
sampah, aku beranjak dari ranjang sampahku dan mulai membersihkan kotoran yang
ada, untunglah malam itu hujan sedang datang, membersihkannya menjadi seperti
menyingkirkan serangga di pakaian. Melihat ke sekeliling, aku baru menyadari
bahwa payung hitamku yang aku bawa juga dilemparkan dari bar yang aku datangi
sebelumnya itu, sepertinya orang kekar yang tidak memukuliku sebelumnya masih
mempunyai sedikit hati nurani, aku sudah sedikit salah dalam menilai orang
lain.
Aku membuka payung itu, dan
badanku sudah mulai mereda dari dinginnya air hujan yang menetes dari langit
yang sudah dicakari oleh gedung-gedung tinggi itu, aku melihatnya dengan
menyipitkan mata, dan melihat ke arah langit yang berwarna hitam yang entah
kenapa terasa sedikit terang dalam penglihatanku, apa ini karena efek minuman
itu? Itu bisa saja terjadi, tapi aku tidak mempercayai itu. Satu hal logis yang
dapat aku pikirkan dalam mabuk yang mereda itu adalah bulan sedang berada di
atas langit, memperhatikan semua orang yang tidak tidur di kota suram ini.
Tetesan air hujan yang dingin
membuatku menyudahi pandanganku akan langit dan mulai memandang lurus ke depan.
Aku mengusap wajahku dengan tangan dari bawah ke atas untuk menyingkirkan air
yang menempel dan membuatku lebih baik, menggerakan beberapa sendiku dan
berjalan dengan perlahan menuju pinggiran kota.
Sepanjang perjalanan, aku hanya
bisa menatap jalan yang aku susuri, sembari memikirkan ke mana kaki dan
perasaan membawaku ke suatu tempat. Dalam tiap pijakan aku dapat melihat
bayanganku terinjak-injak oleh diriku sendiri, membuatku berpikir bahwa apa
yang aku lihat mewakiliki diriku untuk mengatakan bahwa aku sudah muak dengan
diriku sendiri. Apa ini yang disebut ironi? Diriku sendiri tidak ingin menerima
keadaanku saat ini yang tak jelas bagaimana aku akan menjalani kehidupan keji
ini.
Dalam lamunan perjalanan itu aku
mendengar sebuah tangisan, sebuah tangisan kecil, yang tidak akan bisa aku
dengar bila banyak hal menggangu pendengaranku dan tak fokus akan pemikiranku.
Aku mencoba menoleh ke arah di mana suara itu tertangkap oleh telingaku. Di
arah itu aku melihat seorang anak kecil, menarik-narik ibunya yang sedang
menyusuri jalan pertokoan untuk berhenti dan mencoba singgah ke sebuah toko
mainan yang membuat tertarik anak itu. Sang ibu hanya bisa menarik anaknya
dengan perlahan menjauhi toko mainan, yang menjadi sebab akibat dari tangisan
kecil yang aku dengar dari anak kecil itu.
Itu bukan hal yang membuatku
merubah perasaanku. Faktanya, aku sering melihat anak dan orang tua seperti itu
di kota ini, itu tidak membuat perubahan sedikitpun dari apa yang aku pikirkan.
Tapi, apa yang aku lihat dari anak kecil dan seorang ibu tersebut membuatku
teringat akan keluarga kecilku.
Ini bukan cerita yang panjang,
atau mungkin memang aku tidak ingin banyak membicarakan akan hal ini. Istri dan
anakku sudah tidak berada di sisiku lagi, aku bercerai dengannya beberapa
minggu yang lalu karena dia berkata sudah tidak mencintaiku lagi. Dia mulai
mengatakan hal itu ketika aku baru saja dipecat dari pekerjaanku karena alasan
yang konyol. Sebelumnya, dia selalu berjanji akan terus bersamaku selama aku
masih bisa mencintainya. Namun, semua janjinya sekarang hanyalah ungkapan yang
hanya ada dalam pikiranku sekarang, dia pergi bersama anakku satu-satunya yang
sangat aku sayangi. Apa aku salah akan sesuatu? Apa aku telah termanfaatkan
oleh apa yang disebut cinta?
Aku tidak tahu.
Memikirkan itu hanya membuat
kepalaku sakit dan membuatku ingin mengeluarkan air mata. Tapi aku tidak bisa
dan tidak boleh, karena aku yakin aku tidak perlu menangisi kepergian mereka
sekarang. Mungkin kepergian mereka dari kehidupanku bisa membuat mereka lebih
bahagia lagi, dibandingkan dengan aku yang sekarang tidak banyak memiliki
apa-apa.
Aku menyudahi pemikiran sepanjang
jalan itu, dan mencoba mengumpulkan kesadaranku untuk mengetahui di mana aku
berada sekarang. Saat ini aku sedang menyebrangi jalan terakhir yang ada di
kota ini. Di depan mataku aku dapat melihat lautan yang sedang terombak-ambik
dengan suasana suram di atas langitnya, benar-benar pemandangan yang bisa aku
katakan mengerikan, seakan-akan aku melihat sebuah ilusi yang bisa membuatku
terbangun di dunia lain. Aku terus berjalan menuju dermaga kecil setelah aku
menyebrangi jalan, menapakan kaki di kayu-kayu basah yang terkena hujan untuk
pijakan yang melewati sedikit daratan dari kota di mana aku datang.
Aku masih terus berjalan, hingga
jalan buntu di dermaga kecil mecegah langkah kakiku untuk berjalan lebih jauh
lagi. Di sana angin terasa lebih kencang, aku harus memegang kencang-kencang
payungku agar tidak terbawa angin yang hampir setara dengan badai ringan itu.
Di sana aku terdiam, melihat ke
arah lautan yang mengerikan dengan sangat tenang. Walaupun ada ombak besar di
depanku, walaupun angin besar mendatangiku, aku masih diam dengan tenang, dan
ketenangan itu pun membuatku mengetahui kenapa aku datang ke tempat itu.
Lalu tiba-tiba apa yang aku lihat
benar-benar berbeda dari sebelumnya.
Lautan yang aku tatap tiba-tiba
menjadi tenang, namun angin masih bertiup dengan kencang. Apa aku sedang
bermimpi? Apa aku sedang berhalusinasi? Mungkin saja, namun aku tidak terlalu
memikirkan hal itu. Efek dari mabuk mungkin masih belum reda dan membuat
apa yang aku lihat seperti itu.
Aku membalikan badan, mengalihkan
pandangan kosongku dari lautan menuju kota yang ramai. Gemerlap kota yang di
lihat dari sudut pandang yang jauh menampakkan sebuah kecantikan kota yang
tidak pernah tidur itu, sebuah kecantikan yang tidak banyak orang yang dapat
menyaksikannya. Aku merasa sedikit bangga akan hal itu.
“Kota yang indah dalam kehidupan
yang keji.” Aku bergumam.
Aku mencoba menutup mata dengan
perlahan, yang membuatku kehilangan sedikit keseimbangan, tanganku yang
sebelumnya memegang payung dengan erat kini mulai melemah dengan perlahan, membuatnya
terbang tidak karuan di langit yang masih suram.
Aku sudah tidak peduli dengan hal
itu lagi, payung itu bukanlah hal yang istimewa, aku membelinya dengan harga
murah dan aku dapat membelinya lagi tanpa keraguan bila aku menghilangkannya.
Aku tidak peduli lagi dengan hal itu, demikian dengan pekerjaanku, keluargaku,
dan juga kehidupanku.
Aku ingin mencoba... mengakhiri
semuanya.
Pada akhirnya, aku merentangkan
tanganku, mencoba merasakan dinginnya kehidupan sebelum aku mengakhirinya
dengan tanpa penyesalan. Perlahan aku membaringkan tubuhku menuju genangan air
laut yang tenang dan diiringi oleh tetesan hujan yang semakin reda. Aku merasa
seperti melayang pada saat di mana aku melihat langit yang masih terlihat
suram, dengan rintik-rintik hujan yang menyentuh wajahku yang kusam. Aku masih
membuka mata, dan terlihat rintik hujan tersebut berubah menjadi salju secara
perlahan.
Pemandangan yang indah.
Baru pertama kali aku melihat
kejadian seperti ini, mungkin akan lebih baik lagi bila aku melihatnya dalam
keadaan bahagia, dengan keluargaku melihatnya bersama dan tertawa.
Sayang itu tidak akan pernah
terjadi.
Tubuhku sudah mencapai permukaan
lautan, aku menutup mataku dengan sebuah refleks agar air laut tidak masuk
kedalam mataku. Hempasan tubuhku hanya membuat suara kecil yang tak mungkin
bisa didengar oleh siapapun. Aku merasakan dingin di sekujur tubuhku, dan
mencoba pasrah akan hal tersebut. Dalam hempasan itu aku berpikir bahwa hidupku
tidak akan lama lagi, segera dan pasti air laut akan memasuki tubuhku,
membuatku kehabisan nafas dan tenggelam di lautan. Tidak akan ada yang peduli,
dan tidak akan ada yang mencari atas kehilanganku, aku bukan apa-apa dan bukan
siapa-siapa bagi siapapun.
Tubuhku mulai menembus lautan
dengan perlahan, tubuhku terasa ringan dan terbawa oleh aliran air yang tidak
karuan, dalam keadaan seperti itu aku mencoba membuka mataku untuk melihat
bagaimana kuburanku itu.
Aku membuka mata, dan seluruh hal
pun terlihat. Aku melihat banyak sampah plastik dan kaleng di mana-mana, dan
ikan pun hanya ada satu atau dua yang bisa aku lihat dengan kondisi air yang
keruh karena polusi yang ada.
Tempat yang lumayan bagus.
Aku mencoba pasrah akan segala
suatu hal yang ada.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang
bergerak cepat berputar-putar di depanku. Aku tidak dapat melihatnya dengan
baik namun aku terus mencoba untuk mengikuti pergerakan benda itu, yang
tiba-tiba mengelilingi sebuah kaleng kecil yang berada di sebelah kanan
kepalaku.
Aku mencoba menoleh untuk
melihatnya, dan tiba-tiba kaleng yang sebelumnya terlihat hitam dan penuh karat
itu berubah menjadi segumpal cahaya yang menyilaukan. Benda yang bergerak
sebelumnya pun berkeliling di dalam air untuk membuat seluruh benda yang ada
menjadi terang benderang, dan membuat lautan yang sebelumnya keruh terlihat
sangat jernih.
Cantik sekali.
Aku memandangi pemandangan itu dengan rasa
tenang yang sangat terasa. Gumpalan cahaya itu terus menari-nari di
sekelilingku, seperti mereka akan selalu bersamaku selamanya, seakan-akan aku
akan terus terombang-ambing dalam air dan selalu diterangi cahaya mereka.
Tapi, suatu hal aneh terjadi,
gumpalan-gumpalan cahaya-cahaya tersebut berkedap-kedip tidak karuan, cahaya
mereka yang sebelumnya berwarna putih menenangkan perlahan berubah menjadi
warna merah darah yang mengerikan. Aku merasa panik, dan mecoba untuk berenang
kembali ke atas permukaan laut yang masih memperlihatkan cahaya bulan. Dengan
sekuat tenaga, aku mencoba untuk keluar, namun tubuhku terasa berat dan mulutku
sudah banyak tersumpal air lautan, rombongan gelembung mulai keluar dan
meletup-letup di atas permukaan laut.
Sepertinya, aku memang sudah
tidak bisa menggapainya, apa yang dulu aku punya, apa yang dulu aku sebut
“Kehidupan.”
Dalam kepasrahan yang amat berat,
yang membuatku kembali tenggelam dengan perlahan, aku menutup mata, dan lalu
mencoba membukannya.
Dan selanjutnya, aku tidak bisa
melihat apa-apa, selain neraka.
-Fin
©
Rizki Aulia Rachman